Jefrai Murib, whose name is also sometimes written as Jefray, Yaprai or Yaprey, was 19 years old and studying at a local high school in Wamena town, Jayawijaya district when he was arrested following an alleged raid on the Jayawijaya District Military Command weapons arsenal on 4 April 2003.

Arrested on 11 April, Mr Murib was then brought to the District Military Command. According to a report by the Office for Justice and Peace (Sekratariat untuk Keadilan dan Perdamaian, SKP), Mr Murib was blindfolded, beaten with a 5x10cm wooden bar, and had cold water poured over him twice whilst being asked whether he was involved in the raid. He stated that he was not involved.

A report by a local NGO coalition states that initially, Mr Murib, Apotnalogolik Lokobal, Kanius Murib, Kimanus Wenda, and Numbungga Telenggen were detained in the Jayawijaya District Military Command for around five days, far exceeding the 24-hour limit for military detention. They were then handed over to the Jayawijaya Police Station on 15 April 2003. The SKP report states that when Mr Murib and the other detainees arrived at the police station, the police sent them to the local hospital for a medical check. Doctor Berry Wopari reportedly found that they had all sustained severe wounds and were unwell, with the exception of Kanius Murib.

An undated report by Alliance of Democracy for Papua (Aliansi Demokrasi untuk Papua, ALDP) noted many accusations of irregularities in the trial. These included the lack of translators and the prosecution remaining almost silent throughout the trial as their role was being assumed by the judges themselves. The judges reportedly failed to respect the defendants’ rights to be assumed innocent until proven guilty, and pushed the prisoners to accept the state’s version of the story. They also repeated prejudices about the local people of Wamena, such as “people here are lazy and stupid.” According to a document signed by a government official based in Jayapura, Mr Murib was found guilty under the charges of treason (article 106 of the Indonesian criminal code) and conspiracy (article 110) and was sentenced to life imprisonment.

There have been a number of concerns raised about the treatment of those incarcerated in connection with this case. In 2004 while imprisoned in Wamena prison, Mr Murib and the other people accused of the raid on the weapons store were reportedly “still being intimidated by the intelligence of the Military District Command and Police Mobile Brigade, even when in jail,” according to Ms Anum Siregar, a member of their legal team. They were also allegedly being denied access to the prison hall, where they were supposed to be able to meet their families or take exercise, because the military were using it for their own purposes.

A report by ALDP (2008) describes the forced removal of Mr Murib from Wamena prison, where he was initially held. On 15 December 2004 he, along with eight other prisoners, was reportedly woken in the middle of the night, beaten until bruised and bleeding and forced to get into a police vehicle. The prisoners were moved to Gunung Sari prison in Makassar on the island of Sulawesi, far from their families. The sudden nature of this move caused fears for their safety at the time. Following the death of fellow prisoner Michael Heselo in Makassar hospital in August 2007, the remaining eight prisoners were moved back to Papua. Mr Murib was brought to Biak prison on 28 January 2008, along with Numbungga Telenggen and Apotnalogolik Enos Lokobal.

In June 2011, Mr Murib complained about the attitude of the prison guards in Biak, who reportedly often make insulting and belittling comments towards the prisoners, which he stated caused conflicts to break out. On 19 December 2011 he had a stroke. He was referred to a Jayapura hospital for treatment, and after months of campaigning by his lawyers and other organisations, he was transferred to Abepura prison in May 2012. The Head of Abepura prison explained the delay as being caused by understaffing due to the trial of the Jayapura Five and the recent arrival of prisoner Kimanus Wenda, who had been transferred from Wamena to Abepura for medical treatment. On 15 May 2012, at a preliminary check-up, the doctor gave his opinion that Mr Murib has suffered permanent damage from the stroke, affecting his left brain, which is causing paralysis of the right side of his body. While long-term treatment and physiotherapy will bring back some movement, he cannot expect a full recovery. He added, “If only he had been assisted quickly, maybe he could have completely recovered. If somebody is left for more than eight hours, it’s difficult for the body to recover its normal functioning.”

Mr Murib continues to challenge the severity of his sentence, and is seeking a reduction from life imprisonment to a fixed term sentence.

Sources
Aliansi Demokrasi untuk Papua,”Penanganan medis terhadap Jefrai dimulai,” 15 May 2012, http://www.aldp-papua.com/?p=2347

Aliansi Demokrasi untuk Papua, “Kimanus belum baik, Jefrai sudah akan tiba di Jayapura,” 4 May 2012, http://www.aldp-papua.com/?p=2050

Aliansi Demokrasi untuk Papua, “Sikap sipir dan masa tahanan yafrai,” June 2011, http://www.aldepe.com/2011/06/sikap-sipir-dan-masa-tahanan-yafrai.html

Aliansi Demokrasi untuk Papua, “Mereka pulang mimpi,” 5 February 2008, http://andawat-papua.blogspot.com/2008/02/mereka-pulang-mimpi.html

Aliansi Demokrasi untuk Papua, “Peristiwa Pembobolan Gudang Senjata KODIM 1702 Jayawijaya, Wamena, 4 April 2003,” [undated], http://www.aldepe.com/2011/04/peristiwa-pembobolan-gudang-senjata_04.html

Andreas Harsono, “Narapidana Papua di penjara Biak,” 5 January 2012, http://www.andreasharsono.net/2012/01/narapidana-papua-di-penjara-biak.html

Office for Justice and Peace of Jayapura, Imparsial Jakarta, Progressio Timor Leste, the Synod of the Christian Evangelical Church in Papua, and Franciscans International, “The practice of torture in Aceh and Papua 1998–2007,”Jayapura and Jakarta, November 2007, http://www2.ohchr.org/english/bodies/cat/docs/ngos/ShadowReportIndonesia40.pdf

NGO coalition for the protection and upholding of Human Rights in Papua, Jayapura, “Initial report into the 4 April 2003 Wamena case,” 6 May 2003, http://hampapua.org/skp/skp06/var-04i.pdf

Sekretariat untuk Keadilan dan Perdamaian, “They still intimidated, even in jail!” Jayapura, 5 June 2004, http://www.hampapua.org/skp/skp05/info04-2004e.pdf Jefrai Murib, yang namanya juga seringkali ditulis Jefray, Yaprai atau Yaprey, berumur 19 tahun dan tengah menjalani proses belajarnya di sebuah sekolah menengah atas lokal di kota Wamena, distrik Jayawijaya, saat ia ditangkap setelah kejadian pembobolan gudang senjata KODIM Jayawijaya pada 4 April 2003.

Ditangkap pada 11 April, Murib kemudian dibawa ke KODIM. Menurut sebuah laporan dari Sekretariat untuk Keadilan dan Perdamaian (SKP), mata Murib ditutup, dipukul dengan balok kayu berukuran 5×10 cm, dan diguyur air dingin sebanyak dua kali saat sedang diinterogasi mengenai keterlibatannya dalam pembobolan tersebut. Ia menyatakan bahwa dirinya tidak terlibat.

Sebuah laporan dari koalisi LSM lokal menyatakan bahwa awalnya Murib, Apotnalogolik Lokobal, Kimanus Wenda dan Numbungga Telenggen ditahan di KODIM Jayawijaya selama sekitar 5 hari, jauh melampaui batas 24 jam untuk penahanan militer. Mereka kemudian dipindahkan ke Kantor Polisi Jayawijaya pada 15 April 2003. Laporan dari SKP menyatakan bahwa ketika Murib dan tahanan lain tiba di kantor polisi tersebut, polisi mengirim mereka ke rumah sakit setempat untuk menjalani pemeriksaaan medis. Dokter Berry Wopari melaporkan bahwa ia menemukan semua tahanan mengalami luka serius dan dalam keadaan sakit, kecuali Kanius Murip.

Sebuah laporan tanpa tanggal dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) melaporkan banyak tuduhan tidak wajar terjadi selama proses pengadilan. Ketidakwajaran ini meliputi ketiadaan penerjemah dan Jaksa Penuntut Umum hampir tidak mengatakan apa-apa sepanjang proses pengadilan karena tugasnya diambil alih oleh Majelis Hakim. Dilaporkan bahwa Majelis Hakim tidak menghormati hak-hak terdakwa yang harusnya tetap diasumsikan tidak bersalah sampai ada pembuktian, dan memaksa para tahanan untuk menerima kronologis kejadian tersebut sesuai versi negara. Majelis Hakim juga berulang kali menyampaikan kalimat penuh prasangka mengenai penduduk lokal Wamena, misalnya “orang-orang di sana malas dan bodoh.” Menurut sebuah dokumen bertanda tangan seorang pejabat pemerintahan di Jayapura, Murib dinyatakan bersalah atas dakwaan tindakan makar (pasal 106 KUHP) dan konspirasi (pasal 110 KUHP) dan divonis penjara seumur hidup.

Terdapat sejumlah masalah mengenai perlakuan terhadap para tahanan kasus ini. Menurut salah satu anggota tim kuasa hukum mereka, Anum Siregar, pada 2004 saat berada di dalam penjara Wamena, Murib dan para tahanan lain yang terkait kejadian pembobolan gudang senjata dilaporkan berkali-kali diintimidasi oleh intel dari KODIM dan Brimob, bahkan di dalam penjara. Mereka juga disinyalir tidak mendapat akses ke aula penjara, tempat mereka seharusnya bisa bertemu dengan keluarga mereka atau berolahraga, karena pihak militer sedang menggunakan tempat itu untuk kepentingannya sendiri.

Laporan dari ALDP (2008) menggambarkan pemindahan paksa Murib dari penjara Wamena, tempat pertama kali ia ditahan. Pada 15 Desember 2004, ia bersama-sama dengan delapan tahanan lain dibangunkan pada tengah malam, dipukuli hingga memar dan berdarah dan dipaksa masuk ke dalam kendaaraan polisi. Para tahanan tersebut dipindahkan ke penjara Gunung Sari di Makasar, Sulawesi, yang jauh dari keluarga mereka. Pemindahan mendadak ini tentu menimbulkan rasa takut mengenai keselamatan mereka pada waktu itu. Setelah salah satu tahanan Michael Heselo meninggal di rumah sakit di Makassar tahun 2007, sementara 8 orang yang tersisa dipindahkan kembali ke Papua. Murib dibawa kembali ke penjara Biak pada 28 Januari 2008, bersama-sama dengan Numbungga Telenggen dan Apotnalogolik Enos Lokobal.

Pada Juni 2011, Murib mengeluhkan sikap sipir penjara di Biak yang dilaporkan seringkali menghina dan merendahkan para tahanan. Ia menyatakan bahwa hal inilah yang menyulut konflik. Pada 19 Desember 2011, ia terserang stroke. Ia dirujuk ke sebuah rumah sakit di Jayapura untuk mendapat penanganan, dan setelah berbulan-bulan didesak oleh para pengacaranya dan organisasi-organisasi lain, barulah ia dipindahkan ke penjara Abepura pada Mei 2012. Kepala penjara Abepura menjelaskan bahwa penundaan pemindahannya disebabkan oleh kurangnya staf akibat adanya persidangan Forkorus Cs dan tibanya Kimanus Wenda yang telah dipindahkan dari Wamena ke Abepura untuk menjalani perawatan medis. Pada 15 Mei 2012, saat pemeriksaan pendahuluan, dokter berpandangan bahwa Murib menderita kerusakan permanen akibat stroke yang menyerang otak kirinya, dan lebih jauh menyebabkan kelumpuhan tubuh sebelah kanannya. Perawatan dan fisio-terapi jangka panjang memang dapat mengembalikan beberapa gerakan, namun ia tidak dapat berharap untuk sembuh seutuhnya. Ia menambahkan, “jika saja dia mendapat bantuan dengan segera, mungkin dia dapat sembuh seluruhnya. Jika seseorang dibiarkan saja lebih dari delapan jam, sulit bagi tubuhnya untuk mengembalikan fungsi normalnya.”

Murib terus menolak kekejaman vonis yang dijatuhkan padanya, dan berupaya mendapatkan pengurangan hukuman dari hukuman seumur hidup menjadi vonis berjangka waktu terbatas.

Sumber-sumber
Aliansi Demokrasi untuk Papua,”Penanganan medis terhadap Jefrai dimulai,” 15 Mei 2012, http://www.aldp-papua.com/?p=2347

Aliansi Demokrasi untuk Papua, “Kimanus belum baik, Jefrai sudah akan tiba di Jayapura,” 4 Mei 2012, http://www.aldp-papua.com/?p=2050

Aliansi Demokrasi untuk Papua, “Sikap sipir dan masa tahanan yafrai,” Juni 2011, http://www.aldepe.com/2011/06/sikap-sipir-dan-masa-tahanan-yafrai.html

Aliansi Demokrasi untuk Papua, “Mereka pulang mimpi,” 5 Februari 2008, http://andawat-papua.blogspot.com/2008/02/mereka-pulang-mimpi.html

Aliansi Demokrasi untuk Papua, “Peristiwa Pembobolan Gudang Senjata KODIM 1702 Jayawijaya, Wamena, 4 April 2003,” [tanpa tanggal], http://www.aldepe.com/2011/04/peristiwa-pembobolan-gudang-senjata_04.html

Andreas Harsono, “Narapidana Papua di penjara Biak,” 5 Januari 2012, http://www.andreasharsono.net/2012/01/narapidana-papua-di-penjara-biak.html

Sekretariat untuk Keadilan dan Perdamaian Jayapura, Imparsial Jakarta, Progressio Timor Leste, Sinode Gereja Kristen Evangelis di Papua dan Fransiskan Internasional, “Praktek penyiksaan di Aceh dan Papua 1998–2007,”Jayapura dan Jakarta, November 2007, http://www2.ohchr.org/english/bodies/cat/docs/ngos/ShadowReportIndonesia40.pdf

Koalisi LSM untuk perlindungan dan penegakkan Hak Asasi Manusia di Papua, Jayapura, “Laporan awal tentang kasus Wamena 4 April 2003,” 6 Mei 2003, http://hampapua.org/skp/skp06/var-04i.pdf

Sekretariat untuk Keadilan dan Perdamaian, “Mereka masih diintimidasi, bahkan dalam penjara!” Jayapura, 5 Juni 2004, http://www.hampapua.org/skp/skp05/info04-2004e.pdf

[google-translator]