Tenius Murib, who was 28 years old in 2003, was a farmer from Prime village before being arrested in a military sweeping operation in Bolakme village on 5 November 2003. Mr Murib’s name as also been recorded as Itinus or Yenggery Murib.
A letter from the Office for Justice and Peace (Sekratariat untuk Keadilan dan Perdamaian, SKP) and Francisicans International to a UN Special Rapporteur explains some key points in Mr Murib’s case. In Yalengga village during the early hours of 5 November 2003, military officers under the command of Lt. Col. Gustaf Agus Irianto reportedly shot and killed ten people. The two other men present at the scene, Tenius Murib and Jigi Jigibalom, were then arrested. The group were all accused of being members of the Free Papua Movement (Organisasi Papua Merdeka, OPM), and were accused of involvement in a raid on a military arsenal in Wamena in April earlier that year. Eight other people had already been arrested and detained for that action several months before.
The SKP letter relates that Mr Murib and Mr Jigibalom were held in military custody for ten days and tortured. They were taken to the local hospital on 15 November, at which point the military transferred responsibility for them to the police. Under the Indonesian legal system, the military have no power to detain suspects, but must hand them over to the police as soon as possible, within 24 hours.
Reports in the Papua-based newspaper Cenderawasih Pos present a contradictory account of the first days of the two men’s detention. Several reports claim that they were taken to the Wamena public hospital. For example there is an interview with Mr Jigibalom dated November 10 in which the Cenderawasih Pos reports that he is recovering from a gunshot wound to his left arm. In the article Mr Jigibalom stated that he was travelling to Wamena to do some shopping, and was not part of any armed group. Another article dated 11 November reports that Mr Murib had a bullet wound in his right thigh.
The letter by SKP and Franciscans International explains that the two men were charged with treason under article 106 of the Indonesian Penal Code and that their trial commenced on 17 June 2004. The letter outlines several factors indicating that the trial could not be considered fair. Firstly, the two prisoners were in poor health, as Mr Jigibalom in particular was still recovering from torture injuries as well as having severe cataracts; the judge refused requests from the defence that he receive treatment before facing trial. Secondly there were no translators, meaning that the two men – who are not fluent in Indonesian – could not follow the court proceedings properly. Thirdly, the judges reportedly asked intimidating and misleading questions to force the men to admit that they were involved in the raid on the weapons store. Finally, there was a risk of intimidation of the defendants as the military are allowed free access to Wamena prison.
A chronology of events in Papua published by SKP entitled ‘Papua Aktual’ related that on 4 October 2004, Mr Murib and Mr Jigibalom were respectively sentenced to 20 and 15 years in prison. In February 2013, information from Papuan lawyers in contact with Wamena prison authorities confirmed that Mr Jigibalom and Mr Murib were not longer in prison. Their release date is unknown.
Sources
Serikat Keadilan Perdamaian / Franciscans International, “Letter to the UN Special Rapporteur on the Independence of Judges and Lawyers,” 10 August 2004, http://www.hampapua.org/skp/skp04/app-33e.pdf
Cenderawasih Pos, “Sempat Lari, Tapi Tertembak Juga”, 10 November 2003, http://groups.yahoo.com/group/Komunitas_Papua/message/1176
Serikat Keadilan dan Perdamaian, Papua Aktual 2004 (Oktober-Desember), February 2005, http://www.hampapua.org/skp/skp02/ssp-10i.pdf
KontraS Papua, Audiensi dengan Departemen Hukum dan HAM RI Kantor Wilayah Provinsi Papua “Mambahas masalah Tapol/Napol (Tahanan dan Narapidana Politik) Papua”, May 9 2011, http://www.trunity.net/kontraspapua/articles/view/166020/?topic=56143 Tenius Murib dulunya adalah seorang petani dari kampung Prime dan berusia 28 tahun saat ia ditangkap dalam operasi penyisiran di kampung Bolakme pada 5 November 2003. Namanya juga dicatat sebagai Itinus atau Yenggery Murib.
Sebuah surat yang dikeluarkan oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian, SKP) dan Franciscans International untuk Pelapor Khusus PBB menyebutkan beberapa hal-hal pokok dalam kasus Murib ini. Di kampung Yalengga pada saat dini hari tanggal 5 November 2003, pasukan militer dibawah pimpinan Letnan Kolonel Gustaf Agus Irianto dilaporkan telah menembak dan membunuh 10 orang warga. Dua orang warga lainnya yang hadir di tempat kejadian yaitu Tenius Murib dan Jigi Jigibalom, kemudian ditangkap. Sekelompok orang itu kemudian dituduh sebagai anggota dari gerakan Papua Merdeka (OPM) dan dituduh terllibat dalam pembobolan gudang senjata militer di Wamena pada bulan April awal tahun itu. Delapan orang lainnya telah ditangkap dan ditahan lebih dahulu untuk kasus yang sama beberapa bulan sebelumnya.
Surat yang dikeluarkan SKP menghubungkan bahwa Murib dan Jigibalom telah ditahan di markas tentara selama 10 hari dan disiksa. Mereka kemudian dibawa ke rumah sakit daerah pada 15 November, dalam hal ini pihak tentara memindahkan tanggung jawab atas kedua orang ini kepada polisi. Dibawah aturan hukum Indonesia, tentara tidak memiliki hak untuk melakukan penahanan para tersangka, melainkan diserahkan kepada polisi sesegera mungkin dalm waktu 24 jam.
Sebuah surat kabar lokal Papua Cenderawasih Pos melaporkan keterangan yang bertentangan mengenai kondisi awal kedua orang tersebut ada saat ditahan. Beberapa laporan lainnya menyatakan bahwa mereka dibawa ke rumah sakit umum Wamena. Salah satunya adalah sebuah wawancara dengan Jigibalom pada tanggal 10 November di harian Cenderawasih Pos menyebutkan bahwa dia sudah mulai pulih dari luka tembak dilengan kirinya. Dalam artikel tersebut Jigibalom menyatakan bahwa dirinya sedang pergi menuju ke Wamena untuk berbelanja dan bukan anggota kelompok bersenjata. Artikel lainnya tertanggal 11 November melaporkan bahwa peluru bersarang dipaha kanan Murib sebagai akibat luka tembakan.
Surat yang dikeluarkan oleh SKP dan Franciscans International menjelaskan bahwa kedua orang ini didakwa dengan tindakan makar berdasarkan artikel 10 KUHP dan persidangan mereka dilaksanakan pada tanggal 17 Juni 2004. Surat tersebut menyebutkan beberapa faktor yang mengindikasikan adanya pengadilan yang tidak adil. Pertama, kondisi kesehatan kedua tahanan ini sangat memprihatinkan, misalnya saja Jigibalom pada saat itu masih dalam proses penyembuhan dari luka-luka akibat penyiksaan dan njuga mengalami katarak yang cukup parah; Hakin menolak permohonan para pengacara agar dirinya dapat dirawat terlebih dahulu sebelum maju ke persidangan. Kedua, pada saat itu tidak ada penerjemah yang artinya kedua orang ini tidak dapat berbahasa Indonesia dengan fasih sehingga tidak dapat mengikuti proses persidangan dengan baik. Ketiga, para hakim dilaporkan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mengintimidasi dan menyesatkan guna menekan merekan untuk mengakui bahwa mereka terlibat didalam pembobolan gudang senjata tersebut. Terakhir, adanya resiko intimidasi terhadap para tersangka ini karena tentara diberikan ijin secara bebas untuk keluar masuk penjara. Kronologi kejadian tersebut yang diterbitkan oleh SKP dengan judul “Papua Aktual” menyebutkan bahwa pada 4 Oktober 2004, Murib dan Jigibalom masing-masing dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun dan 15 tahun. Pada bulan Februari 2013, informasi diterima oleh pengacara HAM di Papua Barat dari pihak LP Wamena mengkonfirmasi bahwa Jigibalom dan Murib tidak ada di penjara lagi. Tanggal pembebasan mereka tidak diketahui.
Sumber-sumber
Serikat Keadilan Perdamaian / Franciscans International, “Letter to the UN Special Rapporteur on the Independence of Judges and Lawyers,” 10 August 2004, http://www.hampapua.org/skp/skp04/app-33e.pdf
Cenderawasih Pos, “Sempat Lari, Tapi Tertembak Juga”, 10 November 2003, http://groups.yahoo.com/group/Komunitas_Papua/message/1176
Serikat Keadilan dan Perdamaian, Papua Aktual 2004 (Oktober-Desember), February 2005, http://www.hampapua.org/skp/skp02/ssp-10i.pdf
KontraS Papua, Audiensi dengan Departemen Hukum dan HAM RI Kantor Wilayah Provinsi Papua “Mambahas masalah Tapol/Napol (Tahanan dan Narapidana Politik) Papua”, May 9 2011, http://www.trunity.net/kontraspapua/articles/view/166020/?topic=56143