Jigi Jigibalom, who was 50 years old in 2003, was a farmer from Prime village before being arrested in a military sweeping operation in Bolakme village on 5 November 2003.
A letter from the Office for Justice and Peace (Sekratariat untuk Keadilan dan Perdamaian, SKP) and Francisicans International to a UN Special Rapporteur explains some key points in Mr Jigibalom’s case. In Yalengga village during the early hours of 5 November 2003, military officers under the command of Lt. Col. Gustaf Agus Irianto reportedly shot and killed ten people. The two other men present at the scene, Jigi Jigibalom and Tenius Murib, were then arrested. The group were all accused of being members of the Free Papua Movement (Organisasi Papua Merdeka, OPM), and were accused of involvement in a raid on a military arsenal in Wamena in April earlier that year. Eight other people had already been arrested and detained for that action several months before.
The letter by SKP and Franciscans International states that Mr Jigibalom and Mr Murib were held in military custody for ten days and tortured. They were taken to the local hospital on 15 November, at which point the military transferred responsibility for them to the police. Under the Indonesian criminal code, the military have no power to detain suspects, but must hand them over to the police as soon as possible, within 24 hours.
Reports in the Papua-based newspaper Cenderawasih Pos present a contradictory account of the first days of the two men’s detention. Several reports claim that they were taken to the Wamena public hospital. For example there is an interview with Mr Jigibalom dated November 10 in which the Cenderawasih Pos reports that he is recovering from a gunshot wound to his left arm. In the article Mr Jigibalom stated that he was travelling to Wamena to do some shopping, and was not part of any armed group.
The letter by SKP and Franciscans International explains that the two men were charged with treason under article 106 of the Indonesian Penal Code and that their trial commenced on 17 June 2004. The letter outlines several factors indicating that the trial could not be considered fair. Firstly, the two prisoners were in poor health, as Mr Jigibalom in particular was still recovering from torture injuries as well as having severe cataracts; the judge refused requests from the defence that he receive treatment before facing trial. Secondly there were no translators, meaning that the two men – who are not fluent in Indonesian – could not follow the court proceedings properly. Thirdly, the judges reportedly asked intimidating and misleading questions to force the men to admit that they were involved in the raid on the weapons store. Finally, there was a risk of intimidation of the defendants as the military are allowed free access to Wamena prison.
A chronology of events in Papua published by SKP entitled ‘Papua Aktual’ related that on 4 October 2004, Mr Jigibalom and Mr Murib were respectively sentenced to 15 and 20 years in prison.
In April 2011, Papuan human rights lawyers KontraS Papua reported that representatives of several Papuan human rights groups raised Mr Jigibalom’s case with representatives of the Law and Human Rights Department (Depkumham). Their concern was for Mr Jigibalom’s health; in particular that he was losing his sight. By February 2013, information from Papuan lawyers in contact with Wamena prison authorities confirmed that Mr Jigibalom and Mr Murib were no longer in prison. Their release date is unknown.
Sources
Cenderawasih Pos, “Sempat Lari, Tapi Tertembak Juga”, 10 November 2003, http://groups.yahoo.com/group/Komunitas_Papua/message/1176
KontraS Papua, Audiensi dengan Departemen Hukum dan HAM RI Kantor Wilayah Provinsi Papua “Mambahas masalah Tapol/Napol (Tahanan dan Narapidana Politik) Papua”, May 9 2011, http://www.trunity.net/kontraspapua/articles/view/166020/?topic=56143
Serikat Keadilan dan Perdamaian, Papua Aktual 2004 (Oktober-Desember), February 2005, http://www.hampapua.org/skp/skp02/ssp-10i.pdf
Serikat Keadilan Perdamaian / Franciscans International, “Letter to the UN Special Rapporteur on the Independence of Judges and Lawyers,” 10 August 2004, http://www.hampapua.org/skp/skp04/app-33e.pdf
Jigi Jigibalom, yang berusia 50 tahun pada tahun 2003, adalah seorang petani dari kampung Prime sebelum ditangkap dalam operasi sweeping militer di kampung Bolakme pada 5 November 2003.
Sebuah surat dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (Sekratariat untuk Keadilan Dan Perdamaian, SKP) dan Francisicans Internasional ke Pelapor Khusus PBB menjelaskan beberapa poin kunci dalam kasus Pak Jigibalom itu. Di desa Yalengga sekitar dini hari 5 November 2003, para aparat militer di bawah komando Letnan Kolonel Gustaf Agus Irianto dilaporkan telah menembak dan menewaskan sepuluh orang. Dua pria lain yang hadir di tempat kejadian, Jigi Jigibalom dan Tenius Murib, kemudian ditangkap. Kelompok ini semuanya dituduh sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (Organisasi Papua Merdeka, OPM), dan dituduh terlibat dalam pembobolan di sebuah gudang militer di Wamena pada bulan April awal tahun itu. Sebelumnya, delapan orang lainnya sudah ditangkap dan ditahan serta dikurung karena tindakan tersebut selama beberapa bulan.
Surat yang dibuat oleh SKP dan Franciscans International menyatakan bahwa Jigibalom dan Murib ditahan dalam tahanan militer selama sepuluh hari dan disiksa. Mereka dibawa ke rumah sakit setempat pada tanggal 15 November, di mana aparat militer menyerahkan tanggungjawab bagi mereka kepada polisi. Berdasarkan KUHP Indonesia, militer tidak memiliki kekuatan untuk menahan tersangka, tetapi harus menyerahkannya kepada polisi sesegera mungkin, dalam waktu 24 jam.
Laporan di surat kabar lokal Papua, Cenderawasih Pos menampilkan keterangan kontradiktif mengenai hari-hari pertama penahanan kedua pria tersebut. Beberapa laporan menyatakan bahwa mereka dibawa ke rumah sakit umum Wamena. Misalnya ada sebuah wawancara dengan Jigibalom pada tanggal 10 November di mana Cenderawasih Pos melaporkan bahwa ia sedang memulihkan diri dari luka tembak di lengan kirinya. Dalam artikel tersebut Jigibalom menyatakan bahwa ia bepergian ke Wamena untuk berbelanja, dan bukan bagian dari kelompok bersenjata.
Surat yang dikeluarkan oleh SKP dan Franciscans International menjelaskan bahwa kedua orang tersebut dituduh telah melakukan makar berdasarkan Pasal 106 dari KUHP Indonesia dan bahwa pengadilan mereka dimulai pada tanggal 17 Juni 2004. Surat ini menguraikan beberapa faktor yang menunjukkan bahwa persidangan tidak bisa dianggap berjalan dengan adil. Pertama, kedua tahanan berada dalam kondisi kesehatan yang buruk, seperti Jigibalom khususnya masih belum pulih dari cedera penyiksaan serta memiliki katarak yang parah; hakim menolak permintaan dari pembela agar ia mendapatkan perawatan sebelum menghadapi persidangan. Kedua tidak ada penerjemah, yang berarti bahwa kedua pria ini – yang tidak fasih berbahasa Indonesia – tidak bisa mengikuti proses persidangan dengan baik. Ketiga, para hakim dilaporkan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mengintimidasi dan menyesatkan untuk memaksa mereka agar mengakui bahwa mereka terlibat dalam penyerbuan di gudang senjata. Yang terakhir, ada resiko intimidasi terhadap para terdakwa karena pihak militer tidak membuka akses umum kedalam penjara Wamena.
Sebuah kronologi peristiwa di Papua diterbitkan oleh SKP berjudul ‘Papua Aktual’ menyebutkan bahwa pada tanggal 4 Oktober 2004, Jigibalom dan Murib telah dijatuhi hukuman masing-masing 15 dan 20 tahun penjara.
Pada bulan April 2011, pengacara HAM KontraS Papua melaporkan bahwa perwakilan dari beberapa kelompok HAM di Papua mengangkat kasus Jigibalom kepada perwakilan Departamen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham). Perhatian mereka adalah untuk kesehatan Jigibalom ini, khususnya bahwa ia telah kehilangan penglihatannya. Pada bulan Februari 2013, informasi diterima oleh pengacara HAM di Papua Barat dari pihak LP Wamena mengkonfirmasi bahwa Jigibalom dan Murib tidak ada di penjara lagi. Tanggal pembebasan mereka tidak diketahui.
Sumber-sumber
Cenderawasih Pos, “Sempat Lari, Tapi Tertembak Juga”, 10 November 2003, http://groups.yahoo.com/group/Komunitas_Papua/message/1176
KontraS Papua, Audiensi dengan Departemen Hukum dan HAM RI Kantor Wilayah Provinsi Papua “Mambahas masalah Tapol/Napol (Tahanan dan Narapidana Politik) Papua”, May 9 2011, http://www.trunity.net/kontraspapua/articles/view/166020/?topic=56143
Serikat Keadilan dan Perdamaian, Papua Aktual 2004 (Oktober-Desember), February 2005, http://www.hampapua.org/skp/skp02/ssp-10i.pdf
Serikat Keadilan Perdamaian / Franciscans International, “Letter to the UN Special Rapporteur on the Independence of Judges and Lawyers,” 10 August 2004, http://www.hampapua.org/skp/skp04/app-33e.pdf