Kanius Murib, from Napua village near Wamena town in Jayawijaya district, was a 50-year-old farmer at the time of his arrest. Following an alleged raid on the Jayawijaya District Military Command weapons arsenal on 4 April 2003, Mr Murib was arrested on 10 April 2003 and charged with treason.

On his arrest, Mr Murib was brought to the District Military Command. According to report by the Office for Justice and Peace (Sekratariat untuk Keadilan dan Perdamaian, SKP), Mr Tinus Matuan, also detained in connection with the incident, witnessed cold water being poured over Mr Murib during interrogation.

According to a report by a coalition of local NGOs, on 14 April Mr Murib and another detainee, Yapenas Murib, had their hands tied and were taken out of Wamena town to Yilekma sub-village in Sinakma, to perform a reconstruction relating to the events of 4 April. In the days after their arrest, the report states that the houses of Kanius and Yapenas were burned down by the military, along with those of several of their neighbours. Yapenas Murib died in military detention.

The NGO coalition report states that Mr Murib, along with Apotnalogolik Lokobal, Kimanus Wenda, Jefrai Murib and Numbungga Telenggen was detained in the Jayawijaya District Military Command for around five days, far exceeding the 24-hour limit for military detention. The five were then handed over to the Jayawijaya Police Station on 15 April 2003. The SKP report states that when Mr Murib and the other detainees arrived at the police station, the police sent them to the local hospital for a medical check. Doctor Berry Wopari reportedly found that while the other four detainees had all sustained severe wounds and were unwell, Mr Murib’s state of health gave no cause for concern.

An undated report by Alliance of Democracy for Papua (Aliansi Demokrasi untuk Papua, ALDP) noted many accusations of irregularities in the trial. These included the lack of translators and the prosecution remaining almost silent throughout the trial as their role was being assumed by the judges themselves. The judges reportedly failed to respect the defendants’ rights to be assumed innocent until proven guilty, and pushed the prisoners to accept the state’s version of the story. They also repeated prejudices about the local people of Wamena, such as “people here are lazy and stupid.” According to a 2008 document signed by a government official based in Jayapura, Mr Murib was found guilty under the charges of treason (article 106 of the Indonesian criminal code) and conspiracy (article 110) and was sentenced to 20 years imprisonment.

There have been a number of concerns raised about the treatment of those incarcerated in connection with this case. In 2004 while imprisoned in Wamena prison, Mr Murib and the other people accused of the raid on the weapons store were reportedly “still being intimidated by the intelligence of the Military District Command and Police Mobile Brigade, even when in jail,” according to Ms Anum Siregar, a member of their legal team. They were also allegedly being denied access to the prison hall, where they were supposed to be able to meet their families or take exercise, because the military were using it for their own purposes. When his co-accused were moved to Makassar prison in late 2004, Mr Murib was allowed to remain in Wamena, on account of his age.

Concerns about the health of Mr Murib were raised in May 2012 by local NGO United for Truth (Bersatu Untuk Keadilan, BUK), who stated that Mr Murib had been ill since 2008, suffering from nerve damage and mental illness. As a result of his continued illness, BUK stated that Mr Murib had been placed in the care of his family. In December 2012, Kanius Murib died at the age of 59.

Sources
Aliansi Demokrasi untuk Papua, “Peristiwa Pembobolan Gudang Senjata KODIM 1702 Jayawijaya, Wamena, 4 April 2003,” [undated], http://www.aldepe.com/2011/04/peristiwa-pembobolan-gudang-senjata_04.html

Bersatu Untuk Keadilan, “Tidak ada Tanggung Jawab Negara,” May 2012, received by email

NGO coalition for the protection and upholding of Human Rights in Papua, Jayapura, “Initial report into the 4 April 2003 Wamena case,” 6 May 2003, http://hampapua.org/skp/skp06/var-04i.pdf

Sekretariat untuk Keadilan dan Perdamaian, “They still intimidated, even in jail!” Jayapura, 5 June 2004, http://www.hampapua.org/skp/skp05/info04-2004e.pdf

Office for Justice and Peace of Jayapura, Imparsial Jakarta, Progressio Timor Leste, the Synod of the Christian Evangelical Church in Papua, and Franciscans International, “The practice of torture in Aceh and Papua 1998–2007,”Jayapura and Jakarta, November 2007,  http://www2.ohchr.org/english/bodies/cat/docs/ngos/ShadowReportIndonesia40.pdf Kanius Murib berasal dari desa Napua yang berdekatan dengan kota Wamena, distrik Jayawijaya. Ia berusia 50 tahun pada waktu ditangkap. Setelah tuduhan pembobolan gudang senjata di KODIM Jayawijaya pada 4 April 2003, Murib ditangkap pada 10 April 2003 dan didakwa dengan tuduhan makar.

Dalam penangkapannya, Murib dibawa ke KODIM. Menurut laporan dari Sekretariat untuk Keadilan dan Perdamaian (SKP), Tinus Matuan, yang juga ditahan terkait kejadian tersebut, menyaksikan bahwa Murib diguyur dengan air dingin selama interogasi.

Menurut laporan dari koalisi LSM lokal, pada 14 April, tangan Murib dan tahanan lain, Yapenas Murib, diikat dan mereka dibawa keluar ke kota Wamena ke Kampung Yilekma di Sinakma, untuk menjalani rekonstruksi terkait dengan kejadian 4 April. Pada hari-hari setelah penangkapan mereka, laporan ini menyebutkan bahwa rumah Kanius dan Yapenas dibakar oleh pihak militer, bersama-sama dengan rumah beberapa tetangganya. Yapenas Murib meninggal dunia dalam penahanan militer.

Laporan koalisi LSM menyatakan, awalnya Murib, bersama dengan Apotnalogolik Lokobal, Kimanus Wenda, Jefrai Murib dan Numbungga Telenggen ditahan di KODIM Jayawijaya selama sekitar 5 hari, jauh melampaui batas 24 jam untuk penahanan militer. Kelima tahanan ini lalu dipindahkan ke Kantor Polisi Jayawijaya pada 15 April 2003. Laporan SKP menyatakan bahwa ketika Murib dan tahanan lain tiba di kantor polisi tersebut, polisi mengirimkan mereka ke rumah sakit setempat untuk melakukan pemeriksaaan medis. Dokter Berry Wopari mengatakan, tidak seperti tahanan lain yang mengalami luka serius dan dalam keadaan sakit, kondisi Kanius Murip baik-baik saja.

Laporan tanpa tanggal dari ALDP melaporkan banyak hal yang tidak wajar terjadi selama proses pengadilan. Ketidakwajaran ini meliputi ketiadaan penerjemah dan Jaksa Penuntut Umum hampir tidak mengatakan apa-apa sepanjang proses pengadilan karena tugas mereka diambil alih oleh Majelis Hakim. Dilaporkan, Majelis Hakim tidak menghormati hak-hak terdakwa yang harusnya tetap tidak bersalah sampai ada pembuktian, dan memaksa para tahanan untuk menerima kronologis kejadian tersebut sesuai versi negara. Majelis Hakim juga berulang kali menyampaikan kalimat penuh prasangka mengenai penduduk lokal Wamena, misalnya “orang-orang di sana malas dan bodoh.” Menurut sebuah dokumen tahun 2008 bertanda tangan seorang pejabat pemerintah di Jayapura, Murib dinyatakan bersalah atas dakwaaan makar (pasal 106 KUHP) dan konspirasi (pasal 110 KUHP) dan divonis 20 tahun penjara.

Terdapat sejumlah masalah mengenai perlakuan terhadap para tahanan kasus ini. Menurut salah seorang tim kuasa hukum mereka, Anum Sirigar, pada 2004, saat berada di dalam penjara Wamena, Murib dan para tahanan lain yang terkait kejadian pembobolan gudang senjata dilaporkan berkali-kali diintimidasi oleh intel dari KODIM dan Brimob, bahkan di penjara. Mereka juga disinyalir tidak mendapat akses ke balai penjara, tempat mereka seharusnya bisa bertemu dengan keluarga mereka atau berolahraga, karena pihak militer sedang menggunakan tempat itu untuk kepentingannya sendiri. Pada saat rekan tahanannya dipindahkan ke penjara di Makassar pada tahun 2004, Murib diperbolehkan untuk tetap berada di Wamena, dengan mempertimbangkan umurnya.

Keprihatinan terkait kesehatan Murib diangkat pada Mei 2012 oleh LSM lokal, Bersatu Untuk Keadilan (BUK), yang menyatakan bahwa Murib sudah sakit sejak 2008, menderita kerusakan saraf dan gangguan mental. TAPOL belum mendapatkan sumber resmi yang menyatakan bahwa Murib dibebaskan dari penjara. BUK menyatakan, dengan mempertimbangkan penyakitnya, Murib telah diserahkan ke dalam perawatan keluarganya. Keluarga Murib kini mengambil alih tanggung jawab untuk kebutuhannya, kendati statusnya masih sebagai tahanan. Sebagai akibat dari sakitnya yang terus berlanjut, BUK menyatakan bahwa Murib telah dipulangkan ke rumah untuk diurus oleh keluarganya. Pada Desember 2012, Kanius Murib akhirnya meninggal dunia dalam usia 59 tahun.

Sources
Aliansi Demokrasi untuk Papua, “Peristiwa Pembobolan Gudang Senjata KODIM 1702 Jayawijaya, Wamena, 4 April 2003,” [tanpa tanggal], http://www.aldepe.com/2011/04/peristiwa-pembobolan-gudang-senjata_04.html

Bersatu Untuk Keadilan, “Tidak ada Tanggung Jawab Negara,” Mei 2012, diterima via email

Koalisi LSM untuk perlindungan dan penegakkan Hak Asasi Manusia di Papua, Jayapura, “Laporan awal  tentang kasus Wamena 4 April 2003,” 6 Mei 2003, http://hampapua.org/skp/skp06/var-04i.pdf

Sekretariat untuk Keadilan dan Perdamaian, “Mereka masih diintimidasi, bahkan dalam penjara!” Jayapura, 5 Juni 2004, http://www.hampapua.org/skp/skp05/info04-2004e.pdf

Sekretariat untuk Keadilan dan Perdamaian Jayapura, Imparsial Jakarta, Progressio Timor Leste, Sinode Gereja Kristen Evangelis di Papua dan Fransiskan Internasional, “Praktek penyiksaan di Aceh dan Papua 1998–2007,”Jayapura dan Jakarta, November 2007,    http://www2.ohchr.org/english/bodies/cat/docs/ngos/ShadowReportIndonesia40.pdf

[google-translator]